Konflik dapat diartikan sebagai suatu keadaan dimana
seseorang dihadapkan dengan motif, keyakinan, nilai dan tujuan yang saling
bertentangan. Konflik bisa dialami oleh siapapun dan di manapun,
termasuk oleh komunitas di sekolah. Siswa, guru, atau pun kepala sekolah dalam
waktu-waktu tertentu sangat mungkin dihadapkan dengan konflik.
Konflik yang dialami individu di sekolah dapat hadir dalam
berbagai bentuk, bisa dalam bentuk individu dengan individu, individu dengan
kelompok atau kelompok dengan kelompok. Misalnya, seorang guru berhadapan
seorang guru, seorang guru berhadapan dengan sekelompok guru, sekelompok guru
tertentu berhadapan dengan sekelompok guru lainnya., dan sejenisnya. Konflik
yang terjadi diantara mereka bisa bersifat tertutup, terbuka atau bahkan
menjadi konfrontasi.
Apabila konflik yang terjadi di sekolah tidak terkelola dan
bersifat destruktif, maka selain dapat mengganggu kesehatan dan kualitas
kehidupan seseorang, juga dapat mengganggu terhadap pencapaian efektivitas dan
efisiensi pendidikan di sekolah secara keseluruhan.
Terkait dengan upaya
mengelola konflik di sekolah, Daniel Robin (2004) dalam sebuah artikelnya
menawarkan tujuh sikap yang diperlukan untuk mencairkan konflik.
1. Define
what the conflict is about
Definisikan secara jelas
konflik apa yang sedang berkembang. Tanyakan pada setiap orang “Ada issue
apa?”, lalu tanyakan pula “Apa kepedulian Anda di sini? atau “Apa
yang kamu rasakan dan manfaat dari pertengkaran ini”. Secara berkala tanyakan
pula “Apa yang ingin Anda capai dan bagamana kita harus mengerjakannya?”
2. It’s
not you versus me; it’s you and me versus the problem
Memiliki keyakinan bahwa
“Ini bukanlah pertentangan antara anda dengan saya, tetapi ini adalah saya
bersama anda melawan masalah itu”. Masalah yang sebenarnya adalah masalah
itu sendiri, yang harus diselesaikan, bukan terletak pada orangnya. Adalah hal
yang amat bodoh, jika Anda mencoba mengalahkan salah satu dari antara pihak
yang berkonflik, karena suatu saat setelah mereka dikalahkan, meraka akan
kembali melakukan pertempuran ulang (rematch) yang terus-menerus, yang mungkin
dengan daya tembak yang lebih kuat. Jangan paksa orang untuk bertekuk lutut!
3. Identify your
shared concerns against your one shared separation.
Lakukan identifikasi
orang-orang yang memiliki kepedulian yang sama dengan Anda dan orang–orang yang
justru berseberangan dengan Anda. Jika dihadapkan pada suatu konflik, buatlah
semacam kesepakatan dengan kelompok yang memiliki hubungan paling kuat (dimana
Anda menyetujuinya), tidak dengan kelompok yang paling lemah. Ini akan lebih
mudah dan juga lebih efektif, apabila Anda hendak mengalihkan hal-hal yang
disetujui maupun tidak disetujui. Pahami sudut pandang mereka dan berikan
penghargaan atas perbedaaan yang ada.
4. Sort out interpretations from
facts.
Memilah interpretasi
berdasarkan fakta. Jangan meminta suatu pendapat dari orang yang sedang
berkonflik, karena hanya akan memperoleh pendapat dan penafsiran versi mereka.
Tetapi sebaiknya ungkapkan “Apa yang telah kamu lakukan atau katakan?”
pertanyaan semacam ini akan lebih menggiring pada fakta, yang selanjutnya dapat
dijadikan dasar bagi pemecahan konflik
5. Develop a sense of forgieness.
Kembangkan rasa untuk
memaafkan. Tidak mungkin terjadi rekonsiliasi tanpa belajar memaafkan kesalahan
orang lain. Banyak orang melakukan perdamaian tetapi tidak bisa mengubur
kejadian yang sudah-sudah sehingga pada hari kemudian memunculkan lagi
pertengkaran. Oleh karena itu, setiap orang penting untuk dibelajarkan mau
memaafkan orang lain secara tulus. Yang lalu biar berlalu, hari ini kenyataan
dan esok hari adalah harapan!
6. Learn to listen actively
Belajar mendengar secara
aktif. Putarlah paradigma dari ungkapan “ Ketika saya bicara, orang lain
mendengarkan” menjadi “Ketika saya mendengarkan, orang lain berbicara
kepada saya”. Mendengarkan dengan tujuan untuk memahami, bukan untuk
menjawab Mulailah dengan berusaha memahami, kemudian menjadi dipahami.
Setidaknya dengan cara ini, akan membantu melepaskan ego atau uneg-uneg yang
bersangkutan (katarsis)
7. Purify your heart.
Terakhir, berusaha
mensucikan hati. Hati yang bersih merupakan benteng utama dari berbagai
serangan dari luar dan juga akan pembimbing kita dalam setiap tindakan.
Anda tidak akan mendapatkan konflik atau kekerasan dari orang lain, jika dalam
hati dan jiwa Anda bersemayam kebajikan. Rasa benci, iri dan dengki yang
bercokol di hati kerapkali menjadi pemicu terjadinya konflik.
0 comments:
Posting Komentar