Pendidikan
Karakter
di SD Negeri Kadungrejo I
Kecamatan Baureno
melalui Etika Jawa
Etika Jawa: Sumber Kearifan Lokal
Sebagai Sarana Pembentuk Karakter Siswa
Sebagai Sarana Pembentuk Karakter Siswa
Oleh Sukis, S.Pd
Kepala SD Negeri Kadungrejo
Kecamatan
Baureno Kabupaten Bojonegoro
Karakter merupakan aspek penting dari kualitas sumber daya manusia
(SDM) karena kualitas karakter bangsa menentukan kemajuan suatu bangsa.
Karakter adalah titian ilmu pengetahuan (knowledge) dan keterampilan (skill).
Pengetahuan tanpa landasan kepribadian yang benar akan menyesatkan dan
keterampilan tanpa kesadaran diri akan menghancurkan. Karena itu, karakter
menjadi prasyarat dasar dan integral. Karakter itu akan membentuk motivasi,
pada saat yang sama karakter dibentuk dengan metode dan proses yang
bermartabat.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), karakter berarti sifat-sifat
kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain;
tabiat; watak (1995:445). Jadi, karakter bukan sekadar penampilan lahiriah,
melainkan secara implisit mengungkapkan hal-hal tersembunyi. Karakter adalah
cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup
dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan
siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat.
Masa globalisasi yang penuh dengan perubahan dan ekspektasi kompetitif
sangat memerlukan karakter-karakter kuat dan tangguh sebagai sarana memperkuat
jati diri, keunggulan, dan kemandirian yang kuat. Pendidikan karakter yang merupakan
dari bagian pendidikan nilai harus diorientasikan kepada perilaku siswa
ke arah penguatan moral seperti religius, kejujuran, bekerja keras, rasa
tanggung jawab, serta kepedulian terhadap orang lain. Pendidikan karakter
berperan sangat penting dalam memperkuat softskill dan penanaman
kepribadian positif bagi siswa. Pendidikan karakter bukan sekedar budi pekerti,
kesantunan dalam hidup melainkan pelajaran dalam menyikapi hidup itu sendiri.
Pendidikan karakter dapat dibentuk melalui penanaman berbagai nilai yang
dikembangkan berdasarkan kearifan lokal yang dimiliki masyarakat. Pendidikan
karakter berkearifan lokal adalah pendidikan karakter yang dikembangkan
berdasarkan produk kebudayaan masyarakat pendukungnya. Produk kebudayaan yang
dimaksud mencakup filosofi, nilai-nilai, norma, etika, folklore, ritual,
kepercayaan, kebiasaan dan adat-istiadat. Pendidikan karakter yang bersumber
pada kearifan lokal menyelamatkan generasi bangsa dari krisis identitas akibat
pengaruh-pengaruh luar.
Sebagai sebuah sekolah yang berada dipinggiran bantaran Bengawan Solo yang
bisa dikatakan sebuah sekolah yang berada dipelosok pedesaan merupakan daerah
yang multikultural, dimana masyarakatnya
mempunyai aneka ragam kearifan lokal. Kearifan lokal yang sangat menonjol
adalah kebijaksanaan hidup yang didasarkan pada nilai-nilai kebudayaan suatu
masyarakat yang menjadi kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dapat
ditemui dalam nyanyian, pepatah, sasanti, petuah, semboyan, kesusasteraan, dan
naskah-naskah kuno yang melekat dalam perilaku sehari-hari masyarakat
setempat yang melahirkannya.
Jawa, merupakan salah satu wilayah di nusantara yang memiliki sumber-sumber
kearifan lokal yang sangat kaya dan beragam. Salah satu sumber dan wujud
kearifan lokal yang berasal dari budaya Jawa adalah etika Jawa. Sudah menjadi
pengetahuan umum bahwa dalam etika Jawa terkandung tata nilai kehidupan Jawa,
seperti norma, keyakinan, kebiasaan, konsepsi, dan simbol-simbol yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat Jawa, misalnya tepa
slira, rukun, andhap asor, unggah-ungguh, mawas diri, dan
sebagainya.
Berdasarkan gambaran di atas Sekolah Dasar Negeri Kadungrejo I memandang
perlu nguri-nguri kebiasaan yang berlaku di masyarakat sekitar yang pada
akhir-akhir ini mulai luntur oleh derasnya globalisasi komunikasi. Untuk
mengembalikan itu semua Sekolah memiliki tanggung jawab untuk mengembangkan
kembali etika jawa melalui penanaman karakter terhadap siswa. Langkah awal yang
diambil adalah dengan memasukkan pendidikan berbasis keunggulan lokal lebih
dititikberatkan pada pendidikan Budi Pekerti (etika jawa) yang terintegrasi dengan mata pelajaran tertentu.
Pilihan pendidikan keunggulan lokal ini didasarkan pada keinginan warga sekolah
untuk menjadikan sekolah sebagai sekolah berkarakter Jawa
Etika Jawa pada intinya didasarkan pada pantas dan tidak pantas. Ada dua
kaidah dasar dalam etika Jawa yaitu prinsip
rukun dan prinsip hormat. Rukun
bertujuan untuk mempertahankan keadaan harmonis. Rukun berarti berada dalam
keadaan selaras, tenang dan tentram tanpa perselisihan dan pertentangan. Kaidah
hormat menyatakan agar manusia dalam berbicara dan membawa diri selalu
menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain sesuai derajat dan kedudukannya
(Suseno, 2001: 39). Sistem etis yang berprinsip pada rukun dan hormat akan
menghasilkan keselarasan hidup. Sistem etis bertujuan mengarahkan manusia pada
keadaan psikologis berupa rasa ketenangan batin, kebebasan dari ketegangan
emosional. Sistem ini di kenal dengan istilah harmoni maupun selaras.
Etika Jawa secara garis besar yang akan disampaikan pada siswa melalui dua
cara. Pertama, melalui pituduh (wejangan, anjuran) yang isinya
memberikan nasihat berupa anjuran. Kedua, melalui pepali (wewaler)
artinya larangan agar anak-anak menjauhi perbuatan yang tidak baik. Nasihat dan
larangan merupakan inti budi pekerti atau etika. Tujuan pemberian nasihat dan
larangan adalah keadaan selamat atau slamet. Budi pekerti atau etika
bagi anak-anak merupakan suatu keharusan. Budi pekerti atau etika Jawa
disampaikan dari anak-anak kepada pihak lain yang memiliki posisi tidak sama
(bertingkat). Etika Jawa dijalankan sebagai usaha untuk menjaga keselarasan
hidup anak-anak pada masa yang akan datang.
Etika dalam masyarakat Jawa memiliki dimensi yang sangat luas, yaitu
mencakup etika kepada Sang Maha Pencipta, etika kepada sesama manusia, dan
etika kepada alam semesta. Manusia dikatakan menjadi manusia yang sebenarnya
apabila ia menjadi manusia yang beretika yakni manusia yang secara utuh mampu
memenuhi hajat hidup dalam rangka mengasah keseimbangan antara kepentingan
pribadi dengan kepentingan sosial, antara rohani dan jasmani, antara manusia
sebagai makhluk dengan Penciptanya.
Mengacu pada grand desain pendidikan karakter yang dikembangkan oleh
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, etika Jawa yang masih relevan untuk
menjawab tantangan masa kini sehingga dapat dimanfaatkan untuk sumber
pendidikan karakter dan budi pekerti bagi siswa antara lain sebagai berikut.
1. Religius, Eling Sangkan
Paraning Dumadi
Manusia Jawa berkeyakinan bahwa urip ana sing nguripake (hidup
ada yang menghidupkan) dan suatu saat akan kembali kepada yang menghidupkan,
yaitu Tuhan. Oleh karena manusia berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada
Tuhan, maka manusia harus bersiap untuk mempertanggungjawabkan segala
perbuatannya selama hidup. Nasihat eling sangkan paraning dumadi menjadi
pengingat agar manusia selalu menjaga sikap dan perbuatan di dunia karena kelak
akan diminta pertanggungjawabannya di hadapan Tuhan. Sehingga dalam menjalani
hidup manusia Jawa akan senantiasa golek dalan padhang, berbuat lurus,
tidak melakukan hal-hal yang dilarang Tuhan. Sikap-sikap tersebut menunjukkan
religiusitas masyarakat Jawa.
2. Urip Samadya
Dalam menjalani hidup, orang Jawa memegang prinsip urip samadya.
Dengan sikap samadya manusia akan dapat mengukur kemampuannya, tidak
memaksakan kehendak untuk meraih sesuatu yang tidak mungkin diraihnya. Sikap
hidup samadya menjauhkan seseorang dari perbuatan yang menghalalkan
segala cara untuk mendapatkan yang diinginkannya. Prinsip hidup ini juga melahirkan
sikap nrima ing pandum, menerima segala yang diberikan Yang Maha Kuasa.
Namun demikian, tidak berarti sikap hidup samadya dan nrima ing
pandum ini diisi dengan bermalas-malasan, tanpa mau berusaha.
3. Memiliki Watak Rereh, Ririh,
dan Ngati-Ati.
Rereh, artinya sabar dan bisa mengekang diri. Ririh,
artinya tidak tergesa-gesa dalam bertindak, mempunyai pertimbangan matang untuk
sebuah tindakan dan keputusan. Ngati-ati, artinya berhati-hati dalam
bertindak (Herusatoto, 2000:83). Dengan sikap rereh, ririh, dan ngati-ati,
berarti manusia dapat menguasai dirinya, menguasai nafsunya. Manusia akan
sempurna bila dapat menguasai nafsu. Sementara itu, orang yang dikuasai nafsu
akan berbahaya bagi orang-orang di sekitarnya. Dengan sikap rereh, ririh,
dan ngati-ati tentu akan dapat melahirkan penyelesaian yang baik.
4. Menjauhkan Diri dan Membenci
Watak Adigang, Adigung, Adiguna.
Watak adigang adalah watak sombong, karena mengandalkan kekayaan dan
pangkat. Watak adigung adalah watak sombong karena mengandalkan
kepandaian dan kepintaran, lantas meremehkan orang lain. Watak adiguna
adalah watak sombong karena mengandalkan keberanian dan kepintaran berdebat
(Herusatoto, 2000:83). Sikap ini menjadikan seseorang bersikap sapa sira
sapa ingsun, yang merupakan gambaran sikap sombong. Oleh karena itu,
sikap-sikap ini harus dihindari. Seseorang justru harus bersikap ramah dan
menghargai sesama manusia. Jangan berlaku seolah-olah menjadi manusia yang
”paling”.
5. Aja Dumeh
Kata yang singkat ini mengandung ajaran yang sangat luas. Kata ini dapat
diterapkan dalam berbagai sikap dan perbuatan, misalnya aja dumeh pinter,
aja dumeh kuasa, aja dumeh kuwat, dan sebagainya. Aja dumeh sangat
dekat dengan watak adigang, adigung, adiguna. Aja dumeh
mengandung maksud “jangan mentang-mentang”. Sikap hidup aja dumeh akan
membawa seseorang pada sikap rendah hati, sederhana, tidak merasa “paling”
dibandingkan dengan orang lain di sekitarnya.
6. Mawas Diri
Mawas diri adalah tindakan untuk melihat ke dalam diri sendiri,
mengukur nilai dan kemampuan diri. Dengan mawas diri seseorang akan
selalu berupaya melihat kekurangan diri sendiri. Sikap ini menjauhkan seseorang
dari sikap merasa paling benar, sehingga tumbuh rasa saling menghargai sesama.
Menyadari bahwa diri tidak sempurna akan membuat seseorang menjadi tidak
mudah mencela orang lain. Mawas diri menjauhkan seseorang dari sikap sombong.
7. tepa slira
Tepa slira berarti tenggang rasa, tolerasi, menghargai orang
lain, nepakke awake dhewe. Apabila kita merasa senang dan bahagia jika
orang lain berperilaku baik kepada kita, maka hendaknya kita juga berusaha
bersikap baik terhadap orang lain (Heru Satoto, 2000:94). Tepa slira
adalah sikap individu untuk mengontrol pribadinya berdasarkan kesadaran diri.
(Suseno, 2001: 61) Wujud sikap tepa slira adalah sikap menjaga hubungan
baik dengan sesama sebagai anggota masyarakat. Seseorang yang memiliki sikap tepa
slira tidak akan mburu menange dhewe, nggugu karepe dhewe,
dan nuhoni benere dhewe. Bila sikap tepa slira ini bisa dimiliki
oleh setiap orang maka akan tercipta kerukunan dalam masyarakat sehingga
kehidupan akan lebih damai.
8. Unggah-Ungguh
Unggah-ungguh merupakan salah satu bentuk etika atau sikap
manusia Jawa dalam menempatkan diri ketika bergaul dengan sesamanya. Seseorang
yang memiliki dan memahami sikap unggah-ungguh akan mengetahui bagaimana
cara bergaul dan berperilaku dengan orang yang lebih muda, sederajat, lebih
tua, atau yang memiliki jabatan tertentu, bahkan dalam situasi tertentu. Dengan
menerapkan unggah-ungguh dalam bergaul maka akan tercipta hubungan yang
harmonis. Seseorang yang memiliki unggah-ungguh akan dapat menempatkan
diri dalam menjalin pergaulan dengan orang lain sesuai dengan tempat dan
situasinya, empan papan. Istilah lain unggah-ungguh adalah suba
sita.
9. Jujur
Jujur merupakan karakter yang sifatnya universal. Masyarakat Jawa pun
menganggap sikap jujur sebagai etika yang harus dipegang teguh dan dimiliki
oleh setiap orang Jawa. Hal ini tercermin dalam ungkapan-ungkapan Jawa seperti,
jujur bakal mujur, artinya orang yang jujur akan mendapatkan
keberuntungan. Kebalikannya adalah goroh growah, yaitu orang yang
berbohong akan mendapat kerugian. Akhir-akhir ini, ungkapan jujur bakal
mujur sering diplesetkan menjadi jujur bakal ajur atau jujur
bakal kojur. Hal ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa dalam kehidupan
masyarakat dewasa ini sering terjadi fenomena orang yang berperilaku jujur
malah tidak beruntung, sementara yang tidak jujur malah beruntung. Melihat
kondisi ini maka perlu dipahamkan bahwa keberuntungan yang didapatkan oleh
orang jujur sesungguhnya tidak serta merta dan tidak hanya bersifat fisik.
Artinya keberuntungan itu bisa jadi baru didapatkannya kelak dan hanya bisa
dirasakan oleh batin. Oleh karena itu, sikap jujur jangan sampai ditinggalkan
dan tetap yakin bahwa becik ketitik ala ketara, kebaikan akan terlihat
dan keburukanpun akan tampak nyata.
10. Rukun
Hidup rukun selalu menjadi dambaan manusia yang hidup bermasyarakat.
Demikian pula pada masyarakat Jawa yang juga mendambakan kehidupan yang selalu
cinta damai. Cinta damai dapat terwujud jika antarsesama anggota masyarakat
tersebut dapat hidup rukun. Sehingga dalam masyarakat Jawa terdapat ungkapan rukun
agawe santosa, yaitu bahwa hidup rukun sesama manusia akan membuat
kehidupan menjadi sentosa.
11. Kerja Keras
Manusia Jawa tidak boleh lalai untuk selalu berupaya mencukupi
kebutuhannya. Oleh karena itu manusia Jawa harus senantiasa bekerja keras akan
mampu hidup mandiri dan layak tanpa bergantung pada belas kasihan orang lain.
Sikap hidup semacam ini tercermin dalam ungkapan Jawa sapa ubet, ngliwet
yaitu siapa yang kreatif dalam berusaha mencari rezeki, maka pasti akan
mendapatkan hasilnya. Di samping itu, dalam bekerja manusia Jawa juga
berprinsip bahwa bekerja tidak melihat pada besar kecilnya hasil yang harus
diperoleh, tetapi lebih mementingkan apa yang harus dikerjakan. Hasil menjadi
perkara belakangan, sebagaimana ungkapan sepi ing pamrih, rame ing gawe.
Etos kerja ini sangat luar biasa karena menunjukkan semangat pengabdian yang
besar. Orang yang bekerja dengan semangat pengabdian ini sangat diperlukan
dalam membangun bangsa.
13. Tanggung Jawab
Tanggung jawab merupakan sikap yang juga harus dimiliki oleh manusia Jawa.
Sehingga dalam masyarakat Jawa ditemukan juga ungkapan tinggal glanggang
colong playu yang arti harfiahnya meninggalkan gelanggang dan secara
diam-diam melarikan diri. Ungkapan ini merupakan sindiran bagi seseorang yang
suka lepas tangan, cuci tangan dari tanggung jawab yang seharusnya diembannya.
Oleh karena itu, perilaku tinggal glanggang colong playu harus dihindari
karena merupakan perilaku negatif dan jauh dari sikap ksatria sejati.
14. Rumangsa Melu Handarbeni,
Rumangsa Wajib Hangrungkebi
Merasa ikut memiliki, merasa wajib membela. Sikap ini wajib dimiliki oleh
setiap orang agar keadaan dan situasi terjaga dengan baik. Dengan merasa
memiliki orang akan punya keinginan untuk menjaga dan melestarikan serta
membela sesuatu yang menjadi miliknya. Sikap ini sangat tepat untuk ditanamkan
kembali pada generasi ditengah-tengah keterpurukan bangsa. Bila generasi muda
memiliki sikap ini mereka akan berupaya untuk turut berperan dalam memperbaiki
kondisi bangsa dan tidak justru merusak citra bangsa.
15. memayu hayuning bawana
Memayu berarti membuat selamat. Sedangkan bawana
berarti bumi. Memayu hayuning bawana merupakan sikap dan tindakan untuk
menjaga keselamatan dan kelestarian bumi. Sikap ini perlu ditanamkan pada semua
orang, termasuk generasi muda agar kerusakan bumi dapat dicegah sehingga bumi
tetap lestari. Bila bumi terjaga maka manusia juga terhindar dari bencana,
seperti banjir, tanah longsor, kekeringan, dan sebagainya. Memayu hayuning
bawana juga bisa diterjemahkan sebagai sikap dan tindakan menjaga
keselamatan bumi dari segi ketenteraman dan kedamaian. Jika penghuni bumi ini
saling bertengkar dan berperang maka bumi pun akan rusak.
Demikianlah uraian mengenai beberapa
etika dan sikap hidup yang ada dan berkembang dalam masyarakat Jawa yang dapat
digunakan sebagai sarana pembentuk karakter siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka
Endraswara,
Suwardi. 2003. Budi Pekerti dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: PT. Hanindita
Graha Widya.
Hadiatmaja, H.
Sarjana dan Kuswa Endah. 2009. Pranata Sosial dalam Masyarakat Jawa.
Yogyakarta: CV Grafika Indah.
Herusatoto,
Budiono. 2000. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita Graha
Widya.
Sastroatmodjo,
Suryanto. 2006. Citra Diri Orang Jawa. Yogyakarta: Narasi
Suseno, Franz
Magnis. 2001. Etika Jawa Sebuah Analisis Filsafat tentang Kebijaksanaan
Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia
0 comments:
Posting Komentar