Oleh : Sukis, S.Pd
Kepala SD Negeri Kadungrejo I
Baureno
E-mail : sukisspd@gmail.com
Blogger :
sukisspd.blogspot.com
Istilah “carut
marut pendidikan dalam dilembaga kita” sudah berjalan bertahun tahun. Sebenarnya permasalahan ini tidak saja dihadapi
oleh SD Negeri Kadungrejo I saja, tetapi hampir disetiap Sekolah Dasar di Indonesia mengalaminya, hanya kualitas dan kuantitasnya yang berbeda. Setiap ada pergantian pimpinan tentunya
akan mempengaruhi setiap kebijakan. Setiap kebijakan akam
menimbulkan pro dan kontra antara semua warga sekolah. Namun dalam alam demokrasi yang baru terbuka lebar semua orang boleh berbicara
memberi tanggapan, saran maupun kritik syah-syah saja.
Masalah mendasari
munculnya problem pendidikan ternyata bukan pada system pendidikannya itu
sendiri, melainkan pada “Pembelajaran”, dan cara kita memandang kegiatan belajar dan
pembelajaran selama ini merupakan masalah yang sebenarnya. Kita masih
menganggap bahwa belajar dan pembelajaran adalah masalah guru di kelas, tetapi
inilah masalah yang sebenarnya. Pada masa lalu, penghargaan diberikan dari apa
yang “Diketahui”
oleh siswa, karena siswa mampu mengerjakan sekian puluh atau ratus soal secara
benar, tetapi sekarang dan masa datang diharapkan berubah, bahwa penghargaan
diberikan kepada siswa dari “Bagaimana siswa itu belajar
mengetahui sesuatu”. Karena salah satu tujuan pendidikan
diharapkan siswa dapat hidup mandiri tanpa harus ditopang secara terus menerus oleh
orang lain, tetapi, bagaimana siswa dapat hidup dalam situasi dan kondisi yang
terus dinamis atau mampu beradaptasi dan
berpikir cerdas?.
Mengajar harus kita pandang sebagai menanam investasi besar terhadap anak bangsa. Agar
guru dapat mentrasfel ilmu pengetahuan dan menanamkan konsep maka perlu
diberikan pelatihan
agar bisa mencetak tenaga ahli dan terampil yang kelak menghasilkan
inovasi," Kegiatan di sekolah hanya 30 jam per minggu, berarti hanya 6 jam per hari. Siswa akan masuk sekolah pukul 07.00 dan pulang pukul 12.00. Sehingga jumlah waktu untuk bertemu keluarga di rumah menjadi prioritas yang
paling penting. Karena interaksi keluarga dianggap
sebagai proses belajar penting yang tidak akan dijumpai di sekolah.
Guru harus diberikan otonomi untuk
berkreatifitas, berinovasi dan diberikan kebebasan untuk mengelola kelasnya. Guru
juga menentukan model evaluasi dan penilaian setiap aktivitas belajar-mengajar.
Dan akhirnya, gurulah yang menjadi penilai terbaik para siswanya. dampak
dari otonomi guru tersebut diharapkan
akan menjadikan guru-guru sangat
bertanggung jawab terhadap keberhasilan pendidikan para siswanya. Sehingga guru harus menanamkan moto pada diri sendiri,
"Kalau saya gagal dalam mengajar seorang
siswa, itu berarti ada yang tidak beres dengan pengajaran saya."
Kewibawaan
guru demikian tinggi di mata para siswa. Sehingga guru harus menghindari memberi
kritik terhadap pekerjaan siswa, tetapi mereka mengajak para siswa untuk
membandingkan dengan nilai sebelumnya yang pernah diraih (konsep ipsative).
Guru harus menghindari memvonis
siswa dengan mengatakan "Kamu salah!" karena mereka menganggap
sebagai hal biasa jika siswa melakukan kesalahan, termasuk dalam mengerjakan
soal-soal. Proses belajar-mengajar berjalan dua arah. Suasana sekolah harus dibuat lebih cair,
fleksibel, dan menyenangkan. Siswa diarahkan mampu mengevaluasi secara mandiri
hasil belajar masing-masing. Hal ini harus diterapkan sejak dini/pra-TK. Siswa didorong bekerja
secara individu, tak peduli apa pun hasilnya. "Ini akan membantu siswa
untuk belajar bertanggung jawab atas pekerjaan mereke sendiri,"
Suasana kelas harus diciptakan secara demokratis. Penekanan
belajar fokus pada proses, bukan pada hasil belajar. Remedial tidak
diangkap sebagai kegagalan, tapi untuk perbaikan; sedangkan pekerjaan rumah
(PR) dan ujian tak harus dikerjakan dengan sempurna- yang penting murid
menunjukkan adanya usaha. Ujian justru dipandang sebagai penghancur mental
siswa. Tidak ada sistem peringkat (rank-ing) sehingga siswa merasa
percaya diri dan nyaman terhadap dirinya. Sistem peringkat dipandang hanya
membuat guru terfokus pada murid-murid terbaik saja, bukan kepada seluruh
murid.
Lalu bagaimana Bagaimana yang sudah kita lakukan ? Siapa yang menentukan masa depan anak-anak? Jangan berharap Negara atau pemerintah, mengapa?
”Terlalu Jauh” Berharaplah pada yang dekat, Sekolah (Kepala Sekolah) Anda,
rekan-rekan Anda, dan terpenting adalah DIRI ANDA sendiri. Artinya guru harus
belajar. Guru bukan seorang sufi yang khusus mendapat ilmu “Laduni”__tidak usah belajar tahu-tahu mengerti atau
pinter. Saat bekerja, guru harus punya waktu untuk terus
belajar. Perhatikan pidato Miriam Kronish tersebut, “kemajuan sebuah
bangsa serta merta ditentukan oleh aktifitas Pelatihan Guru”.
Tidak Ada Guru Yang Tidak Mampu Mengajar
Kompetensi guru yang ditetapkan berdasarkan PP
No.19 Tahun 2005, mensyaratkan bahwa guru wajib
memiliki empat kemampuan dasar sebagai guru professional, yaitu: Kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian,
komoetensi profesionalisme, dan
kompetensi sosial. Kompetensi pedagogic
adalah kemampuan mengelola pembelajaran siswa yang meliputi pemahaman terhadap
siswa, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan
pengembangan diri siswa. Kompetensi kepribadian adalah kemampuan yang mantap,
stabil, dewasa, arif dan berwibawa__yang akan menjadi teladan bagi siswanya.
Kompetensi professional, adalah penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam sehingga guru dapat
membimbing siswa memenuhi standar kompetensi yang diharapkan. Sedangkan kompetensi sosial adalah kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan
bergaul secara efektif diantara siswa,
tenaga pendidik dan tenaga kependidikan. Jadi dengan meningkatkan empat
kompetensi tersebut, mustahil seorang guru tidak mampu mengajar. Kemampuan itu
harus terus dilatih dengan mengikuti berbagai kegiatan pelatihan, seminar, loka
karya, atau yang paling mudah dan sesuai yaitu kegiatan Kelompok Kerja Guru (KKG)
lintas kelas.
Tidak Ada Siswa Bodoh
“Uuhh, dasar siswa geblek ….. materi
yang mudah saja tidak bisa, apalagi yang susah, bisa mati berdiri kamu”
Ungkapan itu banyak keluar dari mulut guru atau hanya di hati sebagai ungkapan
kekesalan. Siswa itu punya gaya belajar yang berbeda-beda, ketika siswa
dijelaskan dengan cara guru yang mengandalkan ceramah dari jam awal masuk
sampai jam akhir keluar, sementara siswanya sendiri lebih nyambung jika
diterangkan dengan cara visual, maka akan terjadi ketidak-sesuaian komunikasi
atau transfer ilmu. Jadi bukan siswanya yang tidak mengerti atau bodoh, tetapi cara Anda mengajar dengan gaya siswa belajar tidak nyambung. Kecerdasan majemuk (multiple intelligences) yang
dimiliki oleh setiap siswa dan gaya belajar yang biasa diugunakan bagaimana
siswa belajar tidak nampak. Yang ada hanyalah umpatan, caci maki dan keluh
kesah guru terhadap keterlambatan berpikir siswa, alias lemot (lemah otak).
Paradigma mencap siswa bodoh secepatnya harus dihilangkan, dan digantikan
dengan kalimat-kalimat yang positif yang dapat membangkitkan siswa belajar
lebih giat lagi. Satu hal yang harus selalu kita ingat bahwa, masa depan setiap
anak (siswa) ketika telah beranjak dewasa dan terjun dalam masyarakat,
sesungguhnya hanya Tuhan yang tahu. Menanam kebaikan dengan sikap ramah dan kasih
sayang sesungguhnya akan terpatri dalam sanubari sampai terbawa mati.
Referensi:
Eric
Jensen.2008.Brain Based Learning.Terjemahan
Narulita Yusron. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Munif
Chatib.2011.Gurunya Manusia.Bandung:Kaifa
http://sanikkuhamasahkku.blogspot.com
0 comments:
Posting Komentar