Membangun sekolah pada hakikatnya adalah membangun keunggulan sumber daya manusia. Tetapi secara sadar atau tidak, sekolah justru menutup banyak potensi yang dimiliki oleh para siswa. Banyak sekolah menjalankan kurikulumnya secara kaku dengan target-target yang telah ditetapkan oleh sekolah itu sendiri melalui rapat awal tahun pelajaran, mulai dari proses pembelajaran, target keberhasilan sekolah, dan target hasil belajar akhir (Ujian) yang harus dicapai oleh para siswanya. Sekolah bukan hanya sebagai tempat mengejar nilai ulangan harian atau ulangan semester, tetapi sekolah merupakan tempat “kelahiran” berbagai potensi dan bakat yang dimiliki oleh setiap siswa. Alasan klasik yang biasa dikemukakan oleh sekolah adalah demi mengejar UN (Ujian Nasional) maka sejak awal tahun pelajaran semua usaha dan biaya diarahkan untuk kesuksesan UN tersebut.
Tulisan yang berjudul SEKOLAHNYA MANUSIA ini tidak bermaksud menggagalkan UN apalagi menggusur keberadaan Ujian Nasional dengan delapan jenis kecerdasan yang dimiliki oleh manusia yang merupakan hasil temuan Howard Gardner (1986) justru ingin menghargai berbagai jenis kecerdasan siswa untuk dapat dimanfaatkan oleh para guru selama dalam pembelajaran. Ketika seorang guru menemukan saat-saat yang mengesankan dalam pekerjaannya karena dapat mentransfer materi pelajaran kepada siswa dengan berbagai cara, berbagai metode belajar, dan strategi pembelajaran dan pada akhirnya siswa tersebut bisa memahami dengan baik materi yang diajarkan. Tentunya ketika guru mendapatkan momen spesial seperti di atas bukanlah hal yang mudah, mungkin setelah beberapa kali bahkan puluhan kali cara dicoba barulah terjadi koneksi antara guru – materi pelajaran – dan siswa.
Teori multiple intelligences yang dikembangkan oleh Howard Gardner sebagai landasan mengubah paradigma sebelumnya dalam mendefinisikan kecerdasan manusia. Kecerdasan tidak hanya dapat dinilai dan dibatasi oleh tes-tes formal belaka, dan anggapan keliru ini telah tertanam dalam benak pikiran para orang tua secara berlebihan. Orang tua akan memprotes pihak guru/sekolah jika anaknya pada mata pelajaran matematika mendapatkan nilai 8 sementara pada mata pelajaran seni mendapat nilai 4. Padahal, hal tersebut dapat saja terjadi jika siswa tersebut memiliki kecerdasan matematika yang menonjol, sementara kemampuan dalam bidang seni tidak ada. Delapan kecerdasan yang dimaksud oleh Gardner adalah kecerdasan Linguistik (berbahasa), kecerdasan Matematik (hitung menghitung), kecerdasan Spasial (ruang__imajinasi), kecerdasan Intra Personal (pribadi), kecerdasan Inter Personal (bergaul), kecerdasan kinestetik (olah raga), dan kecerdasan Naturalis (ahli biologi). Dan dalam diri manusia terdapat minimal 2 sampai 3 jenis kecerdasan. Berbagai jenis kecerdasan yang dimiliki oleh siswa secara beragam tersebut dapat dimanfaatkan oleh para guru dalam pembelajaran di kelas.
Permasalahan akan muncul ketika para guru yang akan melaksanakan pembelajaran dengan pendekatan dan strategi multiple intelligences tidak dapat mengembangkan pembelajaran dan menjabarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar serta indikator belajar, akhirnya kembali ke pola lama yaitu ceramah dan Tanya jawab. Pelatihan guru dalam mengembangkan berbagai metode dan strategi belajar harus sering dilakukan oleh sekolah, sehingga guru di kelas memiliki banyak cara dalam menyampaikan materi pelajaran. Semakin banyak metode dan strategi yang digunakan guru semakin bermutu pembelajaran tersebut. Satu hal yang harus diluruskan kesalahpahaman yang terjadi bahwa, Multiple intelligences bukanlah bidang studi, juga bukan kurikulum, multiple intelligences adalah strategi pembelajaran yang berisi aktifitas-aktivitas pembelajaran dengan model dan kreatifitas yang beragam.
Secara sederhana, jika seorang guru mengajarkan materi pelajaran tentang bunga, Bapak/Ibu /guru dapat mengajarkan materi tentang bunga dengan strategi linguistic (bercerita), Spasial (imajinasi/digambarkan), atau natural (pengamatan langsung). Mengajarkan satu indikator (Misal: bunga) dengan cara yang berbeda (mengulang-ulang) memang membutuhkan waktu tambahan, namun hal ini akan lebih baik dan lebih melayani kebutuhan siswa sesuai dengan kecerdasan (daya tangkap) yang dimilikinya. Pengulangan (remed) akan semakin menguatkan daya ingat dalam memori jangka panjang yang ada di otaknya.
Kesalahpahaman juga masih terjadi oleh para praktisi pendidikan, bahwa strategi belajar multiple intelligences hanya cocok digunakan untuk siswa Sekolah Dasar (SD) saja. Perlu diketahui bahwa, pemilik kecerdasan multiple intelligences bukan hanya anak SD saja, tetapi kemampuan itu akan tetap ada pada setiap manusia dari usia anak-anak sampai manusia dewasa. Artinya strategi pembelajaran dengan multiple intelligences bisa diterapkan baik pada siswa SD, SMP, majupun SMA.(Perguruan Tinggi di AS sudah ada mata kuliah khusus tentang kecerdasan Multiple Intelligences).
Munif Chatib penulis buku Sekolahnya Manusia yang juga sebagai Konsultan Pendidikan dan Manajemen Sekolah YIMI Full Day School Gresik, memperkenalkan alat riset yang bernama MIR (Multiple Intelligences Research) yang digunakan pada saat penerimaan siswa baru dan setiap tahun kenaikan jenjang (kenaikan kelas). MIR ini tidak digunakan untuk menolak atau menerima siswa dan juga tidak untuk menentukan siswa naik kelas atau tidak naik kelas, tetapi MIR digunakan untuk membantu guru mendekatkan gaya mengajarnya dengan gaya belajar siswa. Penilai hasil belajar dilakukan dengan melihat kompetensi siswa setelah memenuhi indikator hasil belajar melalui penilaian autentik. Penilaian ini bersumber dari aktifitas pembelajaran baik kognitif, psikomotor, maupun afektif. (Asep_108)
wow blognya tentang sekolahnya manusia keren gan
BalasHapuswow blognya tentang sekolahnya manusia keren gan
BalasHapus