Pilkades | budaya atau Demokrasi Busuk

Catatan Pribadi: Rabu Kliwon, 19 Pebruari 2020 (Sukis : Pemerhati Pilkades Sraturejo

Konon walau tidak dalam wilayah kerja penyelenggara pemilu (KPU dan Panwaslu), pemilihan kepala desa (pilkades) merupakan aktualisasi pemerintahan politik yang berasal langsung dari rakyat. 
Maka tidak mengherankan bila kegiatan pilkades pun tidak kalah serunya dengan pemilihan kepala daerah (pilkada) ataupun pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres) yang sebentar lagi akan berlangsung. Pembedanya hanyalah pilkades berada di wilayah yang sangat lokal, yaitu desa. Sebagai bagian dari pemerintahan politik, seorang kepala desa pun dipilih langsung melalui proses pemungutan suara sebagaimana layaknya pemilu. 
Setiap warga masyarakat di daerah tersebut yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk atau Kartu Kependudukan  yang sudah memenuhi syarat untuk memilih dan dipilih, memiliki hak yang sama untuk menyalurkan aspirasi suaranya. Pendek kata, persyaratan administrasi yang diberlakukan sama persis dengan aturan dalam penentuan pemerintahan politik, misalnya : usia minimal 17 tahun atau sudah menikah, anggota TNI/ Polri (walaupun dalam kenyataanya memilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya), memiliki surat panggilan, mencoblos surat suara yang sudah ditentukan panitia dan seterusnya. 
Ironisnya, walau hanya perhelatan pemilu lokal di tingkat desa, berbagai kebusukan politik dibalik kegiatan pilkades tidak dapat dielakkan. Bahkan dapat dikatakan, penodaan nilai-nilai demokrasi dipilkades jauh lebih busuk dibandingkan pemilihan umum di tingkatan pemerintahan politik yang lebih tinggi. 
Salah satu contoh kebusukan dalam pilkades yang paling menonjol ialah merajalelanya praktik politik uang (money politics) karena tidak ada sanksi hukum yang bersifat mengikat, kecuali hanya sanksi moral. Konyolnya, praktik money politik dalam pilkades dianggap sebagai hal yang lumrah dan dipandang sebagai tradisi yang tidak harus dipersoalkan. Mereka sangat mengharapkan adanya pembagian uang dari para kontestan pilkades tersebut. Bahkan sebagian besar masyarakat menyebutnya sebagai pesta rakyat sehingga ingin mendapatkan pembagian uang dari dua kontestan, dengan asumsi nanti suara keluarganya akan dibagi. Ini yang menurut para pebotoh disebut orang yang gela-gelo (bahasa Jawa). Sungguh sangat menyakitkan hati para pendukung yang militan apalagi calon kades.
Sebagaimana Pilkades Desa Sraturejo yang dilaksanakan pada hari Rabu Kliwon, 19 Pebruari 2020, sungguh merupakan reprensentasi sebuah perhelatan demokrasi yang jauh dari etika. Betapa tidak, satu suara dibeli 500 ribu sampai dengan satu juta rupiah, sehingga orang sudah tidak secara nurani menggunakan hak suaranya, karena nurani sudah terjual dengan ratusan bahkan jutaan. Pertanyaannya? Apakah benar sebuah jabatan kepala desa harus dibeli dengan milyaran rupaiah? Apakan dengam pengeluaran milyaran rupiah itu sebuah amanah atau sebuah nafsu panas amarah atau membeli harga diri untuk membuktikan bahwa calon kaden adalah orang yang di sukai, tidak pelit? Ataukah itu jalan allah untuk mengeluarkan zakat, sodaqoh harta benda yang dimiliki secara paksa? 
Kebusukan lain yang sering muncul adalah banyaknya masyarakat yang terbawa-bara oleh isu negatif yang dikembangkan oleh para kontestan, menjelek-jelekkan lawan, mendekriditkan seseorang, membuka aib, ngundat-ngundat (bahasa Jawa) segala sesuatu yang telah dilakukan, ancaman pencopotan jabatan perangkat yang tidak mendukung, bahkan sumpah demi Allah sering diucapkan. Andaikan sumpah segera dikabulkan oleh Allah, maka banyak warga yang termakan sumpahnya.
Sebaik apapun integritas kontestan, tapi jika tidak memberikan ‘upeti’ kepada masyarakat pemilih, kecil harapan untuk memenangkan pilkades. Sebaliknya, seorang kontestan yang secara nyata di hadapan masyarakat memiliki reputasi buruk baik integritas moral maupun profesionalitas, bila kucuran upeti mengalir lancar kepada masyarakat, harapan menangpun akan ada di depan mata. Maka bagi para tim sukses bahwa ujian, visi misi yang akan disampaikan dalam kampanye, merupakan tahapan yang harus dilewati dan hanya sebuah kamuflase belaka.
Ada kata-kata nandur pari tuwuh suket artinya kebaikan yang dilakukan tidak terlihat, yang tampak hanya keburukan. Berbanding terbalik nandur suket tuwuh duit = sesuatu hal yang tidak mungkin terjadi. Tetapi dalam pilkades apa yang tidak mungkin
Pembusukan pilkades melalui praktik money politik juga tidak semata-mata dilakukan oleh kontestan yang ingin memenangkan persaingan dengan cara yang tidak jujur, bahkan justru yang paling membuat heboh ialah para botoh (petaruh). Para botoh ini pada umumnya justru orang-orang dari luar desa yang sedang melaksanakan perhelatan demokrasi tersebut. 
Tidak jarang para botoh tersebut yang membagi-bagikan uang kepada masyarakat agar memilih kontestan tertentu. Harapannya, bila calon yang didukungnya menang, maka botoh tersebut akan mendapatkan keuntungan yang jauh lebih besar dari uang yang dibagikan kepada masyarakat. Banyak model dan modus yang dilakukan para ‘tim sukses’ cakades maupun botoh dalam membagi uang kepada masyarakat. 
Di antaranya melalui ‘serangan fajar’ pada pagi hari menjelang hak suara pemilih dipergunakan. Tidaklah mengherankan, semakin banyak cakadesnya, maka akan semakin banyak pula ‘uang panas’ tersebut beredar di tengah tengah masyarakat pemilih. Setiap individu pemilih memiliki harga tersendiri. Kisaran uang yang diterima individu pemilih ratarata antara lima puluh ribu hingga  tiga ratus ribu rupiah. 
Semakin banyak anggota keluarga yang memiliki hak pilih, dapat dipastikan semakin besar pula uang panas yang diperoleh keluarga tersebut. Bila dalam pemilu, para praktisi money politics cenderung menjalankan aksinya secara diam-diam, sebaliknya dalam pilkades terjadi secara terang-terangan. Kontestan, tim sukses hingga botoh tidak lagi punya malu untuk membagi-bagi uang kepada masyarakat. 
Lebih konyol lagi, ada pula yang membagi uang secara terang-terangan dijalan dengan cara menghadang masyarakat yang sedang menuju tempat pemungutan suara (TPS), atau bahkan ada yang membaginya di depan TPS yaitu di halaman Balai Desa. Panitia pilkades pun cenderung tidak ambil pusing dengan situasi itu, dan menganggap sebagai urusan internal kontestan. Mengapa panitia diam? Bagi panitia pada umumnya yang penting ritual pilkades berjalan lancar, juga tidak ada jerat hukum yang bersifat mengikat bagi pelaku money politics
Risiko terburuknya adalah konflik horizontal antar pendukung dan menganggap pilkades tidak berjalan secara sportif. Pertanyaannya, mengapa money politics dalam pilkades tidak dianggap sebagai pelanggaran pidana seperti halnya dalam pileg, pilpres maupun pilkada? Tampaknya sudah saatnya keadaban pemilu diturunkan hingga tingkat desa. Desa merupakan wilayah pemerintahan politik paling dasar dalam sistem pemerintahan di negeri ini.  
Inilah yang dimaksud camat Baureno dalam sambutannya dalam acara sosialisasi Pilkades Desa Sraturejo dikatakan dalam bahasa Jawa "bakul delai tuku tempe enek kerikile muring-muring" kata ini mengandung makna dalam pemilihan kepala desa masyarakat dalam memberikan hak pilihnya dilakukan dengan cara tidak baik yaitu dengan meminta imbalan uang, selanjutnya Kepala Desa terpilih dalam menjalankan tugasnya sudah berusaha melayani masyarakat dengan sebaik-baiknya, tetapi manakala terjadi kekurangan, masyarakat marah, mencaci maki dengan kata-kata " padahal tuk ku mbelani gak karoan" . Coba bayangkan bagaimana seorang Kepala Desa dapat mensejahterakan masyarakatnya, sedangkan Kepala Desa sendiri tidak sejahtera karena hartanya terkuras untuk biaya Pilkades, lebih-lebih biaya itu berasal dari pinjaman dari beberapa pihak. 
Akhirnya, dalam rangka menuju desa yang berperadaban dan dipimpin oleh kepala desa yang berintegritas tinggi, money politics dalam pilkades sudah saatnya dikategorikan sebagai kejahatan pemilu. Mungkin cukup ideal bila wilayah kerja penyelenggara pemilu tidak berakhir di pilkada, tapi juga sampai ke tingkat pilkades.

2 komentar: